Infokota.online
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan bahwa operasi tangkap tangan (OTT) terhadap jaksa tidak lagi memerlukan izin dari Jaksa Agung. Putusan ini diambil setelah MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan tersebut dalam sidang terbuka di Gedung MK, Jakarta, Kamis (16/10/2025). “Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk sebagian,” ujar Suhartoyo.
Dalam amar putusannya, MK menilai ketentuan dalam Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan yang mengatur bahwa tindakan hukum terhadap jaksa harus seizin Jaksa Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. MK menilai pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memberikan pengecualian dalam kondisi tertentu.
“Ketentuan tersebut harus dimaknai secara bersyarat, yakni terdapat pengecualian apabila jaksa tertangkap tangan melakukan tindak pidana, atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga melakukan tindak pidana berat seperti kejahatan yang diancam hukuman mati, kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus,” kata Suhartoyo.
Dengan putusan ini, MK menambahkan klausul baru pada Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan RI yang berbunyi:
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, kecuali dalam hal: (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau (b) berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati, kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.”
Putusan MK ini sekaligus menegaskan bahwa tidak ada lagi imunitas absolut bagi jaksa dalam kasus tertentu, terutama terkait dugaan tindak pidana khusus seperti korupsi. Langkah tersebut dinilai sebagai upaya memperkuat transparansi dan akuntabilitas di tubuh Kejaksaan.
Selain itu, MK juga menyatakan Pasal 35 ayat (1) huruf e beserta penjelasannya dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, permohonan Pemohon III serta sebagian permohonan lainnya terhadap Pasal 11A ayat (1) huruf a dan e, serta ayat (3) UU yang sama, dinyatakan tidak dapat diterima.
Keputusan ini disambut sebagai tonggak penting dalam penegakan hukum, khususnya dalam memperkuat independensi lembaga penegak hukum lain seperti KPK dan Polri dalam melakukan tindakan hukum terhadap jaksa yang diduga melakukan pelanggaran pidana.
Putusan MK tersebut sekaligus menegaskan prinsip equality before the law, bahwa setiap warga negara, termasuk aparat penegak hukum seperti jaksa, memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa perlakuan istimewa.
(csw)
